Dalam hiruk-pikuk gurun pasir yang tandus, di jalur kafilah antara Mekkah dan Syria, keluarga perampok Ghiffar hidup dengan reputasi yang gelap. Di tengah gemuruh keserakahan dan teror, Abu Dzar, yang awalnya dikenal sebagai Jundab, memimpin mereka. Namun, takdir telah menyiapkan perjalanan luar biasa baginya.
Abu Dzar, pria yang pernah menghantui malam, menemukan cahaya di tengah kegelapan hidupnya. Saat masih muda, dia mendengar tentang ajaran revolusioner seorang Nabi bernama Muhammad. Kehidupannya berubah ketika saudaranya, Anis, pulang dari Mekkah dengan kabar tentang Islam yang menyinari hati mereka.
Penuh hasrat untuk mencari kebenaran, Abu Dzar memutuskan untuk bertemu langsung dengan Rasulullah. Pertemuan mereka di depan Ka’bah adalah titik balik dalam hidupnya. Abu Dzar dengan tulus memeluk Islam, dan dari sinilah dia menjadi salah satu pilar besar agama ini.
Di bawah bayangan Ka’bah yang suci, Abu Dzar dengan berani berkhotbah tentang Islam. Namun, seorang penyembah berhala marah dan menyerangnya. Keberanian Abu Dzar itu hampir merenggut nyawanya, sampai Abbas, paman Rasulullah, turun tangan dan memperingatkan penyerang tentang pentingnya Abu Dzar sebagai pemimpin suku Ghifar yang menguasai jalur perdagangan mereka. Ini menghentikan penyerangan tersebut dan mengubah kehidupan Abu Dzar selamanya.
Rasulullah menugaskan Abu Dzar untuk menyebarkan Islam di antara suku Ghifar, dan dengan tekad yang tak tergoyahkan, dia memenuhi tugas itu dengan sukses. Namun, meskipun diberi pengaruh dan kekayaan, Abu Dzar tetap hidup dalam kesederhanaan yang patut dicontohkan. Dia menolak untuk terjerumus dalam kemewahan dan terus mengikuti jalan kebenaran.
Abu Dzar Al-Ghifari adalah contoh nyata perubahan drastis yang dapat dicapai oleh keimanan dan kesungguhan. Dari masa lalunya yang kelam sebagai pemimpin perampok hingga pengabdian hidupnya kepada Islam, Abu Dzar adalah sosok yang menginspirasi kita semua untuk mengejar kebenaran dan hidup dengan sederhana dalam pengabdian kepada Allah. Abu Dzar wafat pada 8 Djulhijjah tahun ke-32 Hijriyah, ia dimakamkan di Ar-Rabadzah, di antara yang mendo’akan pemakamannya adalah Ibnu Mas’ud ra (Ahmad 2003, 61).
Sumber:
Ahmad, Jamil. Seratus Muslim Terkemuka. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.