Di zaman gemilang kejayaan Islam, terpandanglah sosok yang megah, penuh keberanian, dan penuh cinta kepada Rasulullah saw. Dialah Ali bin Abi Thalib, sosok yang tak pernah lekang oleh waktu. Namanya merajut sejarah kejayaan agung dan pengabdian abadi kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ali, putera dari paman Nabi saw. dan menantu beliau, lahir ke dunia sebagai bunga cinta di antara keluarga terdekat Rasulullah (Asy-Syaikh 2015 M./1436 H., 25). Sejak usia dini, ia telah menjunjung tinggi bendera Islam, meyakini ajaran-ajaran Rasulullah seiring pertumbuhannya. Ketika wahyu pertama turun, usianya masih begitu muda, sepuluh tahun, namun keimanan dan ketabahan hati tak tertandingi.
Dikukuhkan sebagai sahabat Rasulullah dari kalangan pertama yang memeluk Islam, Ali merupakan salah satu pilihan Nabi sebagai ahli Surga. Di medan perang Khaibar, tangannya gagah memegang panji Islam, dan hatinya berkobar untuk menyebarkan cahaya kebenaran di segala penjuru bumi (Mursi 2020, 21).
Tak hanya dipanggil Abu al-Hasan, tetapi Rasulullah sendiri menyebutnya Abu Turab, sang penghuni tanah yang penuh dengan hikmah dan keberanian. Ali adalah khalifah keempat dalam sejarah Islam, tetapi jabatan itu tak pernah mempengaruhi kesederhanaan hidupnya. Baginya, keadilan dan kebenaran di atas segalanya.
Namun, takdir membawa ujian berat dalam masa kekhalifahannya. Tudingan tentang lambannya mengadili pembunuh Utsman menghampirinya, dan dendam kesukuan serta kepentingan politik membuat peperangan meletus di antara sesama Muslim. Aisyah Ummul Mukminin dan kubu Muawwiyah menjadi tantangan besar bagi Ali, tetapi tak sekalipun ia goyah dari prinsipnya.
Ali, pahlawan sejati, rela meletakkan takhtanya dan berpartisipasi dalam pemilihan khalifah melawan Muawwiyah. Meski akhirnya terpaksa menghadapi kekalahan, kecerdikan Muawwiyah tak bisa meredupkan cahaya keabadian Ali di mata sejarah. Kehilangan takhta tak menghalangi semangatnya untuk terus menegakkan kebenaran.
Ketika usianya mencapai 63 tahun, suara takbir terhenti, menyisakan duka yang mendalam di kalangan umat Islam. Di saat fajar menyingsing, Ali pergi menunaikan shalat subuh terakhirnya. Namun, takdir mempertemukannya dengan tebasan pedang beracun yang menghantarkannya ke pangkuan Sang Pencipta.
Ali bin Abi Thalib, pemimpin tak ternilai, telah meninggalkan dunia ini. Meski fisiknya tiada, namun jiwanya yang penuh keberanian, ketabahan, dan kesetiaan terus hidup dalam hati setiap Muslim. Kepahlawanan dan dedikasinya menjadi cahaya yang terus menyinari jalan kebenaran.
Ali adalah sosok yang meneladani keberanian dan pengabdian yang tak tergoyahkan. Sejarah telah mencatatkan namanya sebagai tokoh agung yang mengukir jejak keemasan bagi peradaban Islam. Setiap muslim yang mengenalnya tak henti-hentinya merenung, memetik hikmah dari kehidupan sosok luhur yang abadi dalam ingatan sepanjang masa.
SUMBER
Asy-Syaikh, Abdu As-Sattār. Ali Bin Abi Thālib. Damaskus: Dar al-Qalam, 2015 M./1436 H.
Mursi, Muhammad Sa’id. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Translated by Khairul Amru Harahap, & Ahmad Faozan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2020.