Istimna adalah istilah yang merujuk pada praktik masturbasi dalam konteks Islam. Praktik ini melibatkan rangsangan alat kelamin sendiri dengan tujuan mencapai kepuasan seksual. Kata “istimna” sendiri berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna yang serupa dengan istilah masturbasi dalam bahasa Indonesia.

Dalam konteks agama Islam, istimna seringkali menjadi topik yang sensitif dan kontroversial. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat di antara ulama dan masyarakat Muslim terkait dengan status hukum dan etika istimna. Beberapa aliran pemikiran menganggap istimna sebagai perbuatan yang diharamkan atau dilarang dalam Islam, sementara yang lain menganggapnya sebagai perbuatan yang mubah atau diperbolehkan dengan beberapa batasan tertentu.

Praktik istimna dalam Islam sering kali diperdebatkan karena adanya pertentangan antara pemahaman agama dan realitas kehidupan manusia. Di satu sisi, agama mengajarkan pentingnya menjaga kesucian dan mengendalikan nafsu, sedangkan di sisi lain, manusia memiliki dorongan alami untuk mengekspresikan dan memenuhi kebutuhan seksualnya.

Dalam bahasa Arab, istimna (استمناء) adalah kata yang digunakan untuk merujuk pada praktik masturbasi. Kata ini memiliki asal usul dan makna konsep yang menarik dalam bahasa Arab. Artikel ini akan menjelaskan asal kata “istimna” dan makna konsepnya dalam bahasa Arab. Akar kata: Kata “istimna” berasal dari akar kata “s-m-n” (س-م-ن) dalam bahasa Arab. Akar kata ini memiliki konsonan dasar “s” yang juga ditemukan dalam kata-kata seperti “samina” (سمعنا) yang berarti “kami mendengar” dan “samitu” (سمعت) yang berarti “aku mendengar”. Bentuk dan prefiks: Kata “istimna” menggunakan bentuk masdar (infinitif) dalam bahasa Arab, yang menunjukkan bentuk verbal tanpa tambahan afiliasi. Selain itu, kata ini juga menggunakan prefiks “is” yang merupakan prefiks pembentuk kata benda yang mengacu pada tindakan atau keadaan.

Secara harfiah, “istimna” memiliki makna dasar “memperoleh kepuasan sendiri” atau “menghadirkan kesenangan diri sendiri”. Dalam konteks seksual, istimna merujuk pada tindakan merangsang alat kelamin sendiri dengan tujuan mencapai kepuasan seksual.

Dalam konteks perbedaan pandangan tentang istimna dalam komunitas Muslim, terdapat variasi dalam pemahaman dan penilaian yang dilakukan oleh berbagai mazhab atau aliran dalam Islam. Beberapa mazhab yang mungkin memiliki pandangan berbeda tentang istimna antara lain:

  1. Mazhab Hanafi: Mazhab Hanafi adalah salah satu dari empat mazhab Sunni yang utama. Dalam mazhab ini, terdapat perbedaan pendapat antara ulama terkait dengan istimna. Beberapa ulama Hanafi menganggap istimna sebagai perbuatan yang makruh (tidak dianjurkan), sedangkan yang lain menganggapnya sebagai perbuatan haram (dilarang).
  2. Mazhab Maliki: Mazhab Maliki adalah salah satu mazhab Sunni yang utama yang banyak dianut di negara-negara Afrika Utara dan beberapa bagian Timur Tengah. Dalam mazhab ini, sebagian ulama menganggap istimna sebagai perbuatan yang haram, sementara yang lain memandangnya sebagai perbuatan makruh.
  3. Mazhab Syafi’i: Mazhab Syafi’i adalah salah satu mazhab Sunni yang utama dan banyak dianut di wilayah Asia Tenggara. Dalam mazhab ini, mayoritas ulama menganggap istimna sebagai perbuatan yang haram, dan beberapa di antaranya menganggapnya sebagai perbuatan keji yang harus dihindari.
  4. Mazhab Hanbali: Mazhab Hanbali adalah salah satu mazhab Sunni yang utama yang banyak dianut di wilayah Arab Saudi. Dalam mazhab ini, mayoritas ulama menganggap istimna sebagai perbuatan yang haram, dan pandangan ini sejalan dengan penekanan mazhab Hanbali terhadap kepatuhan terhadap hukum syariah.

Dalam hadis-hadis, terdapat beberapa yang menyebutkan tentang istimna atau masturbasi. Berikut adalah beberapa hadis terkait:

  1. Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian menjaga kemaluanmu, kecuali dengan jalan pernikahan.” (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah menganjurkan untuk menjaga kemaluan dan menyalurkan dorongan seksual melalui pernikahan yang sah.

  1. Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi perisai baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menekankan pentingnya menikah sebagai cara yang dianjurkan untuk menjaga diri dari tindakan seksual di luar pernikahan. Jika seseorang tidak mampu menikah, maka puasa disarankan sebagai cara untuk menahan dorongan seksual.

Dalam konteks hukum Islam, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama tentang perbolehan atau ketidakperbolehan istimna (masturbasi). Beberapa ulama berpendapat bahwa tidak ada dalil yang secara eksplisit membolehkan istimna, sementara yang lain mengambil pendekatan interpretatif terhadap dalil-dalil yang ada. Berikut adalah beberapa argumen yang digunakan untuk mendukung perbolehan istimna:

  1. Interpretasi terhadap ayat Al-Quran: Beberapa ulama berpendapat bahwa istimna tidak secara spesifik dilarang dalam Al-Quran. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa istimna boleh dilakukan dalam keadaan tertentu sebagai jalan keluar untuk menghindari perbuatan yang lebih besar dosanya, seperti zina. Namun, interpretasi ini masih menjadi perdebatan di antara ulama.
  2. Dalil kebutuhan biologis: Argumen lain yang digunakan adalah bahwa manusia memiliki kebutuhan biologis dan dorongan seksual yang alami. Dalam keadaan tertentu, jika tidak ada jalan keluar yang sah seperti pernikahan, beberapa ulama berpendapat bahwa istimna dapat diperbolehkan sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan menghindari perbuatan yang diharamkan.
  3. Prinsip kemaslahatan (maqashid al-shariah): Beberapa ulama berpendapat bahwa dalam situasi tertentu, istimna dapat diperbolehkan sebagai bentuk kemaslahatan (maslahah) yang lebih besar. Misalnya, dalam kasus di mana seseorang memiliki risiko besar terhadap perbuatan zina atau dalam situasi sulit mendapatkan pasangan hidup yang sah.