Basrah: Kota Destinasi Tholabul ‘Ilmi
Di Hikayat 1001 Malam (Hikayah Alfu Lailah wa Lailah)—karya sastra epik Timur Tengah yang mulai ditulis pada zaman Dinasti Abbasiyah berdasarkan cerita rakyat bangsa Persia, India, dan Arab—kita disuguhi beragam kisah yang menakjubkan dan menerbangkan imajinasi kita; seperti Aladdin & Lampu Ajaib (‘Ala’uddin wal-Mishbah as-Sihri), Ali Baba & 40 Penyamun (‘Ali Baba wal-Lushush al-arba’un/’Ali Baba wal-Arba’ina Haromi), Sindbad Si Pelaut (Sindbad al-Bahhari/Sindbad al-Bahri), dan lain-lain. Selain tokoh-tokoh fiksi tersebut, Hikayat 1001 Malam juga menampilkan tokoh-tokoh sejarah semisal Khalifah Harun ar-Rasyid dan Penyair Abu Nuwas. Sindbad Si Pelaut adalah salah satu kisah yang begitu populer dalam ingatan rakyat Irak, khususnya rakyat Basrah. Saking populernya, hingga kini ada salah satu pulau di Basrah yang dinamakan dengan pulau Sindbad (Jazirah as-Sindbad). Alasannya sederhana, karena dalam kisah Sindbad Si Pelaut, dengan bermodalkan uang 3.000 dirham, Sindbad berangkat dari Baghdad ke Basrah untuk mengadu nasib. Dari pelabuhan di Basrah Sindbad memulai petualangannya mengarungi lautan; mengunjungi pulau-pulau baru, bertemu dan berniaga dengan orang-orang baru, melihat makhluk-makhluk aneh, meloloskan diri dari beragam marabahaya, dan pengalaman-pengalaman seru lainnya. Dari tujuh kali petualangannya mengarungi lautan, Sindbad berhasil mengumpulkan kekayaan yang berlimpah. Basrah adalah “titik nol kilometer” dalam perubahan nasib hidup Sindbad.
Pada masanya, bersama Kufah dan Baghdad, Basrah memainkan peran penting dalam sejarah peradaban Islam. Tiga kota yang berada di Irak ini adalah kota destinasi tholabul ‘ilmi, pusat kajian berbagai disiplin ilmu, tempat yang semarak dengan perdebatan, tanah yang penuh sesak oleh para intelektual (ulama) lintas keilmuan dan madzhab. Dari Basrah sendiri, misalnya, ada Imam al-Hasan al-Bashri yang keilmuannya sangat mendalam karena dia berguru ke banyak Sahabat Nabi saw. Dialah ulama dari kalangan Tabi’in yang pertama kali menyediakan waktunya untuk membicarakan ilmu-ilmu kebatinan (esoteris), kemurnian akhlak, dan ikhtiar-ikhtiar menyucikan jiwa (tazkiyah an-nafs) di Masjid Agung Basrah. Para pembelajar ilmu Tasawuf dan ilmu Kalam mustahil jika tak bertemu dengan nama tokoh ini. Lalu ada Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi-penyair perempuan yang terkenal dengan konsep mahabbah-nya. Ada juga Imam al-Kholil bin Ahmad al-Farohidi, seorang ulama bahasa dan sastra Arab yang terkenal dengan penemuan ilmu ‘Arudh & Qowafi (teori tentang syair Arab) dan yang menyempurnakan ilmu Naqhthul I’rob (titik untuk menandakan baris huruf Al-Qur’an atau titik tanda baca Al-Qur’an) gagasan Imam Abul Aswad ad-Duali. Tanda baca (harokat/syakal) Fathah, Kasrah, Dhommah, dan Tanwin, yang asalnya hanya berupa titik tebal bikinan Abul Aswad, al-Kholil sempurnakan menjadi tanda baca seperti terlihat di Al-Qur’an sekarang ini. Al-Kholil kemudian menambahkan tanda baca baru yaitu Sukun, Tasydid, dan juga huruf baru yaitu Hamzah. Al-Kholil—yang juga penyusun kamus bahasa Arab pertama lewat karyanya Mu’jam al-‘Ain—ini mempunyai seorang murid yang menjadi ulama besar dalam bidang gramatika bahasa Arab (nahwu-shorof), yaitu Amr bin Utsman bin Qonbar—kita mengenalnya dengan Imam Sibawaih. Dua madzhab besar teologi Islam yaitu Mu’tazilah dan Asy’ariyah juga lahir dari atmosfer intelektualitas kota ini.
Basrah: Tanah Batu Putih
Bulan Jumadil Ula 1410 H, enam penyair Indonesia diundang pemerintah Irak untuk ikut serta memeriahkan acara rutin Festival Puisi Mirbad di kota Basrah. Mereka adalah KH. Musthofa Bishri (Gus Mus), Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM, Hamid Jabbar, dan Leon Agusta. Di kota Basrah Gus Mus berhasil menulis puisi panjang berjudul Di Basrah. Puisi ini membuktikan pengetahuan Gus Mus tentang sejarah peradaban Islam (Tarikh) begitu luas. Beberapa nama tokoh dan madzhab teologi dalam sejarah Islam seperti Umar, Utbah, Hasan al-Bashri, Rabi’ah, Abu Nuwas, Asy’ariyah, Mu’tazilah, disebut dalam rangkaian puisi yang sangat dahsyat, terlebih ketika dibacakan oleh Gus Mus sendiri. Kita seperti diajak bernostalgia menjelajah jejak sejarah di kota Basrah. Mari kita baca bait-bait pembuka puisi Di Basrah:
Inilah Basrah
Tanah batu putih
Tak pernah berhenti memerah
Tak pernah lelah dijarah sejarah
Inilah Basrah
Pejuang Badar bernama Utbah
Membangun kota ini atas perintah Umar al-Faruq Sang Khalifah
Entah mantra apa yang dibaca ketika meletakkan batu pertama
Sehingga kemudian setiap jengkal tanahnya
Tak henti-hentinya merekam nuansa seribu satu cerita
Basrah yang marah
Basrah yang merah
Basrah yang ramah
Basrah yang pasrah
Kota yang terus membatasi penduduknya
Dengan menambah jumlah syuhada
…
Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Buldan (Juz 1, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, t.t, No. 1948 “al-Bashroh”, hlm. 510) mencatat bahwa ada dua kota yang bernama Basrah dalam sejarah peradaban Islam: Basrah yang berada di Irak dan Basrah yang terletak di al-Maghribi (Maroko). Al-Hamawi merangkum beberapa pendapat tentang asal-usul penamaan Basrah (Irak). Di sini kita catat tiga pendapat saja. Pendapat pertama menyatakan bahwa Basrah dalam perkataan Arab berarti “tanah yang keras” atau “tanah yang padat” atau “tanah yang berlumpur lengket disertai kerikil” (Al-bashrotu fi kalam al-‘arobi al-ardhu al-gholidzoh). Ada juga yang berpendapat bahwa Basrah berarti “tanah berbatu (kapur) putih” (Al-bashrotu hijarotun rokhwatun fiha bayadh). Pendapat lain menyatakan bahwa dinamakan Basrah karena daerah itu adalah “tanah yang keras oleh bebatuan hitam” (Innama summiyat al-bashroh li-anna fiha hijarotan sawda-a shulbah). Agaknya diksi “Inilah Basrah/Tanah batu putih” dipilih Gus Mus dengan bersandar pada pendapat bahwa Basrah adalah tanah berbatu (kapur) putih. Hal ini dikuatkan juga oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah al-Khulafa’ ar-Rosyidun 11 H – 40 H (Dar Ibnu Katsir, Dimasyq-Beirut, 1431 H, hlm. 145) bahwa Basrah ketika itu disebut dengan “Tanah India yang berbatu (kapur) putih yang keras” (Wa al-bashrotu yawma-idzin tud’a ardh al-hindi fiha hijarotun biydhu khosyinah). Di puisi ini juga kita diberitahu Gus Mus bahwa Basrah dibangun oleh Utbah atas perintah Umar al-Faruq Sang Khalifah. Umar al-Faruq Sang Khalifah tentu saja adalah Khalifah Umar bin Khotthob yang bergelar “al-Faruq” (orang yang memisahkan/membedakan antara yang haq & yang bathil). Tapi siapakah Utbah?

Pejuang Badar Bernama Utbah
Pejuang Badar itu bernama Utbah bin Ghozwan dari Bani Mazin bin Manshur. Terkenal dengan kemahirannya memainkan pedang, tombak, dan panah. Nama lengkapnya Utbah bin Ghozwan bin Jabir bin Wuhaib bin Nusaib bin Zaid bin Malik bin al-Harits bin Auf bin al-Harits bin Mazin bin Manshur bin Ikrimah bin Khoshofah bin Qois ‘Ailan, demikian tulis Ibnu Atsir dalam Usud al-Ghobah fi Ma’rifah ash-Shohabah (Dar Ibnu Hazm, Beirut, 1433 H, No. 3.557 “Utbah bin Ghozwan”, hlm. 816). Sedangkan menurut Ibnu Ishaq dalam as-Sirah an-Nabawiyah li-Ibni Hisyam (Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, 1410 H, Juz 1 hlm. 352 & Juz 2 hlm. 323): Utbah bin Ghozwan bin Jabir bin Wahb bin Nusaib bin Malik bin al-Harits bin Mazin bin Manshur bin Ikrimah bin Khoshofah bin Qois bin ‘Ailan. Bani Mazin bin Manshur ini adalah sekutu (halif) Bani Naufal bin ‘Abdu Manaf. Oleh karena itu, Ibnu Ishaq (Juz 2, Pasal “Man Hadhoro Badron min al-Muslimin”, hlm. 323) memasukkan Utbah bin Ghozwan dan maulanya (mantan hamba sahayanya), Khobbab, ke dalam kelompok kaum Muhajirin peserta Perang Badar dari Bani Naufal bin ‘Abdu Manaf yang berjumlah dua orang (wa min bani naufal bin ‘abdu manaf: Utbah bin Ghozwan… wa khobbab maula Utbah bin Ghozwan—rojulani). Jumlah peserta Perang Badar seluruhnya 313 orang (di riwayat lain 314 atau 317). Ibnu Ishaq lebih menguatkan pendapat yang 314 orang, dengan rincian: Kaum Muhajirin 83 orang, kaum Anshor Bani Aus 61 orang, kaum Anshor Bani Khozroj 170 orang. Utbah termasuk ke dalam kelompok Sahabat yang pertama-tama menerima risalah Islam (as-sabiqun al-awwalun) dan kelompok Sahabat yang mengikuti dua kali hijrah (Hijrotain); hijrah pertama ke Habasyah (Ethiopia) dan hijrah kedua ke Yatsrib (Madinah).
Nasab Utbah bin Ghozwan bertemu dengan Rosululloh saw di Mudhor bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Masih menurut Ibnu Ishaq (Juz 1 hlm. 91), Mudhor bin Nizar mempunyai dua anak laki-laki, yaitu Ilyas bin Mudhor dan ‘Ailan bin Mudhor. Ilyas bin Mudhor mempunyai anak Mudrikah bin Mudhor dan dari Mudrikah menurunkan keluarga besar Bani Quraisy. Sementara ‘Ailan bin Mudhor mempunyai anak Qois bin ‘Ailan dan beranak pinak menjadi keluarga besar Bani Qois ‘Ailan. Berbeda dengan Ibnu Ishaq, ada riwayat menarik yang ditulis oleh Jawwad Ali dalam Sejarah Arab Sebelum Islam 4: Kondisi Sosial-Budaya (Alvabet, Jakarta, 2019, hlm. 355). Menurutnya, sebagian ahli nasab meriwayatkan bahwa nama asli Qois ‘Ailan adalah Qois bin Mudhor, sedangkan ‘Ailan adalah nama kuda milik Qois bin Mudhor yang terkenal dalam jajaran kuda Arab unggulan, maka dikenallah Qois bin Mudhor dengan nama Qois ‘Ailan. Ada juga yang berpendapat bahwa ‘Ailan adalah nama hamba sahaya milik Qois bin Mudhor. Pendapat berikutnya menyebutkan bahwa ‘Ailan adalah nama anjing milik Qois bin Mudhor.
Beberapa suku terkenal dari Bani Qois ‘Ailan adalah Bani Hawazin bin Manshur, Bani Mazin bin Manshur, dan Bani Sulaim bin Manshur. Bani Hawazin menurunkan Bani Sa’ad bin Bakar (suku asal Halimah as-Sa’diyah, ibu susuan Rosululloh saw). Bani Hawazin juga menurunkan Bani Tsaqif bin Munabbih. Bani Hawazin dan Bani Tsaqif ini beranak pinak di kota Thoif yang ditaklukkan oleh pasukan Rosululloh saw dalam Perang Hunain dan Perang Authos, belasan hari setelah Fathu Makkah. Menurut Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam ar-Rahiq al-Makhtum, Sirah Nabawiyah: Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad saw (Darul Haq, Jakarta, 1442 H, hlm. 68), ketika Rosululloh saw berusia 20 tahun—di riwayat lain usia 14/15 tahun—terjadi Perang Fijar; peperangan antara Bani Quraisy dan sekutunya Bani Kinanah melawan Bani Qois ‘Ailan. Rosululloh saw ikut serta dalam perang ini di barisan pemanah dan membantu menyuplai anak panah untuk paman-pamannya.
Wallohu a’lam.
Baca Artikel Selanjutnya: Utbah Bin Ghozwan: Sahabat Nabi Muhammad SAW dan Pendiri Kota Basrah (Bagian 2)