Baca Artikel Sebelumnya: Utbah Bin Ghozwan: Sahabat Nabi Muhammad SAW dan Pendiri Kota Basrah (Bagian 1)
Utbah Menaklukkan Kota Pelabuhan Ubullah
Pascawafatnya Rosululloh saw, Abu Bakar ash-Shiddiq dibaiat sebagai pemimpin umat Islam. Khalifah Abu Bakar kemudian unjuk kekuatan militer menantang dua kekaisaran sekaligus, Romawi dan Persia, setelah sebelumnya sukses memadamkan pemberontakan kaum murtad di Perang Riddah dan nabi palsu Musailamah al-Kadzdzab di Perang Yamamah. Ekspedisi militer pertama ke wilayah Persia dipimpin oleh Kholid bin Walid. Beberapa wilayah di Irak yang saat itu di bawah kekuasaan Persia berhasil ditaklukkan, penduduknya tidak berkenan masuk Islam tapi bersedia mengakui kekuasaan Madinah dengan membayar jizyah. Pasukan Kholid bin Walid lalu ditarik ke wilayah Syam untuk membantu pasukan yang sedang berperang dengan Romawi. Tak berselang lama, karena tekanan dari pasukan Persia, penduduk Irak membatalkan perjanjian jizyah dengan Madinah. Ketika Khalifah Abu Bakar wafat dan digantikan Khalifah Umar bin Khotthob, ekspedisi militer lanjutan ke wilayah Romawi dan Persia pun dilancarkan. Abu Ubaidah al-Jarroh dipilih sebagai panglima perang utama menggantikan Kholid bin Walid untuk wilayah Syam dan sekitarnya yang dikuasai Romawi. Untuk wilayah Irak-Iran dan sekitarnya yang dikuasai kekaisaran Persia Dinasti Sasanid, ditunjuklah Sa’ad bin Abi Waqqosh sebagai panglima perang utama.
Ketika peperangan demi peperangan sedang berkecamuk di wilayah Irak, Sa’ad bin Abi Waqqosh mengirim surat kepada Khalifah Umar di Madinah agar dikirimkan pasukan pembantu untuk menaklukkan Ubullah di Irak bagian selatan. Ubullah adalah kota pelabuhan yang ramai oleh lalu lintas kapal dagang dari berbagai negara, terutama kapal dagang dari India dan Cina. Populasi para pedagang dari India mendominasi di Ubullah—inilah alasan kenapa Ibnu Katsir menyebut “Basrah ketika itu disebut dengan tanah India yang berbatu (kapur) putih yang keras”. Seperti halnya sebagian besar kota-kota lain di Irak, Ubullah juga dilalui oleh sungai Tigris (Dajlah) dan Eufrat (Furat). Aliran dua sungai besar ini lalu bertemu di daerah al-Qurnah dan membentuk sungai besar juga, orang Arab menyebutnya sungai Syatth al-Arab atau sungai Arvand Rud dalam bahasa Persia, panjangnya membentang sekitar 200 kilometer dan lebarnya bervariasi antara 200 meter hingga 800 meter. Pelabuhan di Ubullah adalah jalur langsung menuju Teluk Persia, Iran, Kuwait, Bahrain, Abu Dhabi, Qatar, Selat Hormuz, Teluk Oman, India, lalu Laut Arab. Wilayah yang sangat strategis sebagai basis ekonomi dan militer. Di sini juga berdiri benteng pangkalan militer pasukan Persia. Dari sinilah salah satu tempat yang menyuplai bantuan prajurit tambahan dan logistik untuk pasukan Persia di dua medan peperangan utama, yaitu Qodisiyah dan Madain. Jika Ubullah ditaklukkan, maka suplai logistik akan terblokade dan kekuatan pasukan Persia yang sudah mengalami beberapa kali kekalahan akan semakin melemah.
Abdurrohman Ra’fat al-Basya mencatat dalam Shuwar min Hayat ash-Shohabah (Dar an-Nafais, Beirut, 1412 H, hlm. 393), Khalifah Umar saat itu di Madinah hanya mampu mengumpulkan 310-an orang prajurit (tsalatsu mi-ah wa bidh’ah ‘asyar). Khalifah Umar berpikir bahwa pasukan yang sedikit ini akan memenangkan peperangan jika dipimpin oleh seorang panglima yang cerdas, tangguh, dan berpengalaman. Maka ditunjuklah Utbah bin Ghozwan yang Khalifah Umar puji sebagai sang veteran Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan perang lainnya; yang tak pernah salah menebaskan pedang, anak panahnya tak pernah meleset, telah berhijrah dua kali, dan orang ketujuh dari tujuh serangkai yang masuk Islam di muka bumi ini (wa kana sabi’a sab’ah aslamu ‘ala dzhohr al-ardh). Bagi Khalifah Umar, “Sesungguhnya Utbah bin Ghozwan memiliki kedudukan (terhormat) dalam (perjalanan) agama Islam” (inna li ‘utbah bin Ghozwan min al-islam makana). 310-an orang prajurit ini, menurut Ibnu Katsir (hlm. 145), kemudian bertambah menjadi 500 orang berkat bergabungnya kaum Arab Badawi. Utbah dan pasukannya ini bergerak ke Ubullah pada bulan Rabiul Awwal tahun 14 H. Ikut serta di dalamnya beberapa perempuan yang merupakan keluarganya sendiri dan keluarga beberapa prajuritnya. Dan ketika sampai di Ubullah jumlah total prajuritnya adalah 600 orang (sittu mi-ah muqotil).
Masih menurut Raf’at al-Basya (hlm. 394-395), ketika memasuki daerah Qoshba, daerah terdekat dari Ubullah, pasukan Utbah kehabisan bekal makanan. Utbah mengutus beberapa prajuritnya untuk menyisir daerah ini demi mencari makanan. Di area yang dipenuhi pepohonan rimbun, mereka menemukan dua buah keranjang besar dengan pegangan yang tergeletak begitu saja di bawah pohon. Keranjang pertama berisi kurma matang yang sudah dikeringkan (tamrun), keranjang kedua berisi biji-bijian putih kecil yang terbungkus kulit kuning (habbun abyadhu shoghirun mughoththon bi qisyrin ashfar). Isi keranjang kedua adalah benda asing bagi pasukan Utbah. Mereka tak memakannya karena khawatir itu adalah benda beracun. Lalu ada seorang perempuan, saudari salah seorang prajurit, membawa butiran berkulit kuning itu ke dalam tungku dan dinyalakanlah api di bawahnya. Dia berkata bahwa benda beracun tidak akan berbahaya jika dimatangkan di atas api. Butiran berkulit kuning itu berubah memerah karena digarang, kulit kuningnya terkelupas, muncullah butiran putih, kemudian dikumpulkan di atas jufnah (piring besar untuk makan berjamaah khas Arab). Utbah memerintahkan para prajuritnya agar menyebut nama Alloh swt sebelum memakan benda itu. Butiran putih hangat itu terasa lumayan enak di lidah mereka. Di kemudian hari mereka mengenal butiran asing itu dengan nama beras (aruzzun) dan terasa semakin enak jika direbus terlebih dahulu, bukan hanya sekadar digarang (lihat juga Mu’jam al-Buldan, Juz 1, hlm. 511-512). Inilah perkenalan pertama orang-orang Arab Utara dengan beras. Beras dikenalkan ke wilayah Persia kemungkinan besar oleh orang-orang dari Asia Selatan (India dan sekitarnya) serta Asia Timur (Cina) lewat pelabuhan Ubullah. Maka tak mengherankan jika hingga kini banyak kuliner Arab dan Persia yang berbahan dasar beras, semisal nasi briyani, nasi kabsah, nasi kabli (kebuli), nasi madhi, nasi bukhari, dan sebagainya; meskipun beras tetap tidak bisa menggeser gandum dan kurma sebagai makanan pokok bangsa Arab dan Persia—seperti halnya juga roti gandum yang tetap tidak bisa menaklukkan lidah orang-orang yang makanan pokoknya nasi.
Ketika semakin mendekat ke perbatasan kota pelabuhan Ubullah, Utbah mengatur pasukan berkudanya agar berbaris rapi dalam posisi siaga penyerangan. Utbah juga membariskan para perempuan dan membekali mereka dengan panji-panji perang yang diikatkan di ujung tombak. Utbah berpesan kepada para perempuan agar menghamburkan debu tanah sebanyak-banyaknya, sekuat-kuatnya, hingga memenuhi angkasa, jika pasukan berkuda sudah mulai bergerak menyerang gerbang kota Ubullah. Rombongan berkuda yang melesat cepat disertai gemuruh takbir, kibaran panji-panji perang di belakangnya, serta hamburan debu yang memenuhi angkasa, terlihat begitu menggentarkan bagi pasukan Persia. Mereka menyangka bahwa rombongan berkuda yang di depan adalah pasukan pembuka atau pasukan garis depan (tholi’ah al-’askar), sedangkan pasukan utamanya atau pasukan terbesarnya (jaysun Jarror) masih di belakang. Taktik Utbah ini berhasil menciutkan nyali pasukan Persia. Dalam keadaan panik, kebanyakan dari mereka berebutan menaiki perahu-perahu besar yang tertambat di sungai Dajlah (Tigris) untuk melarikan diri. Tak ada perlawanan yang berarti dari mereka. Ketika Ubullah berhasil dikuasai, Utbah tidak kehilangan seorang pun dari pasukannya.
Utbah Mendirikan Kota Basrah
Setelah berhasil menaklukkan kota pelabuhan Ubullah, pasukan Utbah mendapatkan harta rampasan perang (ghonimah) yang berlimpah. Saking banyaknya ghonimah tersebut dalam pandangan orang-orang Arab Utara, mereka mengistilahkannya dengan “sudah tidak bisa dihitung lagi dan melampaui semua hitungan” (‘azzat ‘ala al-hashr wa faqot kulla taqdir). Utbah kurang begitu suka melihat situasi ini. Tumpukan emas perak, ragam pakaian dan makanan mewah yang sedang dinikmati oleh pasukannya—dalam benak Utbah—begitu mencemaskan. Utbah tak ingin pasukannya larut dan terlena dalam euforia kenikmatan duniawi, hal yang bisa membelokkan niat dan semangat jihad fi sabilillah. Utbah tak ingin pasukannya terkena penyakit wahn seperti yang Rosululloh saw peringatkan, yaitu “penyakit cinta dunia dan takut akan kematian” (hubb ad-dunya wa karohiyah al-maut). Solusi yang terpikir oleh Utbah adalah pasukannya jangan sampai berlama-lama menetap di kota pelabuhan Ubullah yang kian terasa begitu melenakan. Utbah lalu mengirim surat kepada Khalifah Umar di Madinah, mengabarkan perihal kemenangan dan meminta izin membangun pemukiman di luar kota pelabuhan Ubullah, untuk markas pasukannya (pangkalan militer) dan tempat beristirahat di musim dingin. Khalifah Umar mengizinkan dengan syarat pemukiman itu tak jauh jaraknya dari Ubullah, harus dekat dengan sumber air dan ladang penggembalaan—dua hal yang sangat penting bagi kehidupan bangsa Arab. Menurut Muhammad Husain Mahasnah dalam Pengantar Studi Sejarah Peradaban Islam (Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2016, hlm. 231), ketersediaan sumber air, iklim yang sesuai dan udara yang baik, letak yang strategis, serta sarana transportasi darat atau laut yang memudahkan, adalah empat syarat utama ketika kaum muslimin akan mendirikan kota-kota baru.
Utbah berhasil menemukan tempat seperti yang disyaratkan oleh Khalifah Umar. Bangunan pertama yang didirikan Utbah adalah masjid, posisinya di tengah pemukiman, berbahan bambu dan rumput ilalang. Masjid inilah yang di kemudian hari terkenal sebagai Masjid Agung Basrah. Kelak di masjid ini Imam Hasan al-Bashri muda diberi izin untuk tetap mengajar oleh Khalifah Ali bin Abi Tholib setelah dites dua buah pertanyaan dan jawabannya memuaskan Khalifah Ali. “Anak muda,” tanya Khalifah Ali ketika melihat Hasan Bashri sedang mengajar, “aku hendak bertanya dua hal kepadamu. Jika kau dapat menjawabnya dengan benar, maka kau boleh meneruskan berbicara di depan umat. Apa yang dapat menyelamatkan agama dan apa yang dapat merusak agama?” Hasan Bashri muda menjawab, “Yang dapat menyelamatkan agama adalah sifat wara’ (sifat hati-hati meninggalkan syubhat—perkara yang belum jelas halal-haramnya, karena takut atau khawatir pada keharamannya) dan yang dapat merusak agama adalah sifat thama’ (sifat rakus, serakah—berkeinginan besar hanya untuk kepentingan dirinya sendiri).” “Kau benar,” respons Khalifah Ali, “teruskan aktivitas mengajarmu. Orang sepertimu layak berbicara di depan umat.” Dialog antara Khalifah Ali dan Imam Hasan al-Bashri muda ini dicatat oleh Aboebakar Atjeh dalam Pengantar Ilmu Tarekat: Uraian Tentang Mistik (Penerbit Ramadhani, Solo, Cet. ke-3, 1985, hlm. 26).
Di Masjid Agung Basrah ini juga kelak Imam Hasan al-Bashri tua dengan raut sedih berkata dengan lirih, “Washil telah memisahkan diri dari kita” (i’tazala ‘anna washil). Washil bin Atho—dan Amr bin Ubaid—adalah murid Imam Hasan al-Bashri yang memisahkan diri dengan membuat pengajian baru di sudut lain Masjid Agung Basrah. Dari kata “i’tazala” inilah kemudian kelompok pengajian Washil bin Atho dikenal dengan nama Mu’tazilah, madzhab teologi yang lebih mengedepankan rasionalitas. Di masjid ini juga kelak Imam Abul Hasan al-Asy’ari memproklamirkan dirinya keluar dari madzhab teologi Mu’tazilah dan mendirikan madzhab teologi Asy’ariyah. Selain membangun masjid agung (jami’), di sana juga dibangun masjid-masjid kecil di setiap pemukiman. Shalat Jum’at hanya dipusatkan di Masjid Agung Basrah.
Pembagian tanah untuk pemukiman diatur sedemikian rupa berdasarkan kabilah-kabilah. Para prajurit Utbah membangun rumah-rumah berbahan bambu dan ilalang yang bisa dibongkar pasang. Jika pasukan Utbah akan berangkat perang menaklukkan daerah-daerah kekuasaan Persia lainnya, mereka cabuti bambu-bambunya lalu diikat. Jika pulang dari peperangan, mereka bangun kembali. Hanya Utbah yang tidak membangun rumah baru. Dia sudah merasa cukup tinggal di tenda lapuk yang dibawanya dari Madinah. Pangkalan militer di dekat kota pelabuhan Ubullah ini pada perkembangan selanjutnya semakin banyak dikunjungi oleh orang-orang baru yang ingin bermukim di sana, terutama orang-orang dari Hijaz dan Arab Utara (sementara orang-orang dari Yaman dan Arab Selatan kebanyakan lebih memilih bermukim di Kufah). Tempat inilah yang menjadi cikal bakal kota Basrah. 14 H dicatat sebagai tahun berdirinya kota Basrah. Kota pelabuhan Ubullah pun pada akhirnya menjadi bagian dari kota Basrah dan Utbah diangkat Khalifah Umar sebagai gubernur pertama untuk kawasan ini. Di zaman Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah Basrah menjadi kota metropolitan. Tujuh pelabuhan besar dan seratus ribu lebih kanal menghiasi kota ini. Kelak orang-orang Eropa menjuluki Basrah sebagai Venesia Timur Tengah (Venice of the Middle East). Di Basrah juga terdapat sebuah lapangan luas yang paling terkenal, al-Mirbad namanya, saksi bisu perang saudara terbesar pertama dalam sejarah Islam. Dalam Mu’jam al-Buldan (No. 11.069 “al-Mirbad”, Juz 5, hlm. 115) disebutkan bahwa pada awalnya al-Mirbad ini adalah tempat jual beli unta, kemudian menjadi ruang publik tempat orang-orang berkumpul, gelanggang bergengsi bagi para penyair membanggakan keahlian bersyairnya, dan mimbar bebas bagi para orator (wa mirbad al-bashroh: min asyhari mahalliha wa kana yakunu suq al-ibil fihi qodiman tsumma shoro mahallah ‘adzimah sakanaha an-nas wa bihi kanat mufakhorot asy-su’aro’ wa majalisu al-khuthoba’).
Di al-Mirbad inilah pasukan Ummul Mu’minin Aisyah yang didukung Zubair bin Awwam dan Tholhah bin Ubaidillah berhadapan-hadapan dengan pasukan Utsman bin Hunaif (wakil Khalifah Ali bin Abi Tholib di Basrah). Ibnu Katsir (hlm. 407) mencatat bahwa pasukan Aisyah-Zubair-Tholhah yang bergerak dari Makkah, ketika sampai di Basrah berhenti di al-Mirbad yang posisinya sebelah atas dekat kota Basrah. Sebagian penduduk Basrah bergabung dengan pasukan Aisyah-Zubair-Tholhah, sebagian lagi bergabung dengan pasukan Utsman bin Hunaif. Mereka berhadap-hadapan di al-Mirbad pada minggu pertama bulan Rabiul Akhir tahun 36 H. Pasukan Khalifah Ali masih dalam perjalanan menuju Basrah dari Madinah. Hari kedua mereka berhadap-hadapan, pecahlah perang pembukaan tanpa kehadiran Khalifah Ali dengan kemenangan di pihak pasukan Aisyah-Zubair-Tholhah. Sebulanan kemudian, pertengahan Jumadil Ula, berkecamuklah Perang Jamal Kubra yang berakhir dengan kemenangan di pihak pasukan Khalifah Ali. Disebut Perang Jamal karena Aisyah memimpin pasukannya dari atas unta (jamal) yang memakai haudaj (sekedup atau tempat duduk dengan semacam tenda kecil yang dipasang di punggung unta, biasanya dipakai untuk perempuan). Ummul Mu’minin Aisyah akhirnya berdamai dengan Khalifah Ali. Dengan penuh penghormatan Aisyah dikembalikan ke Madinah, kali ini tanpa disertai Zubair dan Tholhah, karena keduanya wafat dalam perang saudara ini. Gus Mus merekam peristiwa ini dalam puisinya:
Inilah Basrah
Di sini Ali dan Aisyah
Menantu dan istri Nabi
Menguburkan dendam amarah
Ghirah terhadap keyakinan kebenaran
Setelah mengantarkan az-Zubair dan Tholhah
Hawari-hawari Nabi
Ke Taman Kedamaian Abadi yang dijanjikan
…
Utbah Meninggalkan Kota Basrah
Kemenangan demi kemenangan diraih oleh pasukan Utbah dan pasukan muslim secara umum di wilayah kekuasaan Persia. Ghonimah demi ghonimah yang berlimpah telah mengubah nasib pasukan Utbah menjadi semakin makmur dalam gelimang kekayaan. Utbah melihat bahwa kenikmatan duniawi yang sedang dialami oleh pasukannya telah membuat banyak orang menjadi lupa diri. Salah satu contohnya, para prajurit yang asalnya tidak mengenal makanan Persia selain beras yang dimasak seadanya, sekarang mulai mengenal faludzaj dan lauzinj. Faludzaj adalah sejenis makanan manis (halwa) yang terbuat dari tepung terigu, madu, dan minyak samin. Lauzinj juga adalah sejenis makanan manis yang berbahan baku kacang badam/almon (lauz). Perihal makanan faludzaj ini, Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadis dari jalur Sahabat Ibnu Abbas ra, “Pertama kali aku mendengar faludzaj adalah ketika Malaikat Jibril as mendatangi Nabi saw sambil berkata: ‘Sesungguhnya bumi akan ditaklukkan untuk umatmu, oleh karenanya mereka akan dibanjiri kenikmatan duniawi, sampai-sampai mereka memakan faludzaj.’ Nabi saw bertanya: ‘Apakah faludzaj itu?’ Malaikat Jibril as menjawab: ‘Mereka mencampur minyak samin dan madu bersama-sama.’ Maka Nabi saw tercengang karena berita itu” (lihat hadits Sunan Ibnu Majah No. 3.331 – Kitab Makanan di www.hadits.id). Mereka sering berleha-leha sambil menikmati dua makanan lezat dan mewah khas Persia tersebut. Mereka semakin terlena bersenang-senang dalam beragam kemewahan sampai melalaikan agama. Utbah sangat gelisah melihat fenomena tersebut dan semakin tak betah untuk berlama-lama bermukim di Basrah. Mungkin kegelisahan Utbah melihat euforia pasukannya inilah yang dirasakan juga oleh Gus Mus ketika berada di Festival Puisi Mirbad:
Di sini, Jum’at siang, 25 Jumadil Ula
Sehabis menelan dan memuntahkan puisi-puisi kebanggaan
Ratusan penyair dengan garang
Berhamburan menyerang kambing-kambing guling
Ikan-ikan Syatthil Arab yang dipanggang kering
Nasi samin dan roti segede-gede piring
Anggur dan korma kemurahan Basrah
Aku dilepas takdir ke tengah-tengah mereka
Mengeroyok meja makan yang panjang
Menelan puisi dan saji
Sambil kuperhatikan wajah-wajah para penyair
Kalau-kalau…
Ah, sampai Walibah dan Abu Nawas pun tak tampak ada
Inilah Basrah
Bersama para penyair yang lapar
Kutelan semuanya
Bersama-sama menghabiskan apa yang ada
Sampai mentari ditelan bumi
Dan aku pun tertelan habis-habisan
Basrah mulai gelap
Barangkali adzan Maghrib sudah dikumandangkan
Tapi tampaknya tak satu pun yang mendengarnya
Kami kekenyangan semua
Dan aku, sambil bersendawa
Merogoh saku mencari-cari rokokku
Terasa kertas-kertas lusuh sanguku dari rumah
Puisi-puisi sufistik untuk al-Bashori dan Rabi’ah
Tiba-tiba aku ingin muntah
Kulihat kedua zahid Basrah itu
Di sudut sana sedang berbuka
Hanya dengan air mata
Aku ingin lari bersembunyi tapi ke mana
Tuhan, berilah setetes saja air mata mereka
Untuk mencairkan batu di dadaku
Basrah, tolong jangan rekam kehadiranku
Menurut Khalid Muhammad Khalid dalam 60 Sirah Sahabat Rasulullah saw (Al-I’tishom, Jakarta, Cet. ke-2, 2009, hlm. 348), setelah menata kota Basrah, Utbah mengirim surat pengunduran dirinya sebagai gubernur kepada Khalifah Umar, tapi khalifah tetap menginginkan Utbah memimpin Basrah. Utbah pun menurut. Utbah tetap bertahan di Basrah, tetap menjadi imam shalat, mengajarkan Islam kepada rakyatnya, memutuskan perkara dengan adil, dan memberikan keteladanan dalam sifat zuhud, kesalehan, dan kesederhanaan. Nasihat demi nasihat Utbah sampaikan kepada rakyat Basrah. Tak henti-hentinya dia mengkritik pola hidup mewah dan berlebihan, hingga muncullah kebencian dari sebagian rakyat Basrah—yang terlena dalam godaan kesenangan duniawi—kepadanya. Utbah akhirnya bertekad untuk pulang ke Madinah dan mengajukan lagi pengunduran dirinya dari jabatan gubernur kepada khalifah. Sebelum pulang, Utbah menyampaikan khutbah terakhirnya kepada rakyat Basrah. Khutbah ini salah satunya dicatat oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim, Kitab Zuhud dan Kelembutan Hati (lihat Imam an-Nawawi, terjemah al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, Darus Sunnah, Jakarta, Jilid 12, No. 7.361 & 7.362, hlm. 683):
“Amma ba’du. Sesungguhnnya dunia telah memberitahukan akan kepergiannya dengan segera. Dan masa yang tertinggal hanyalah sisa-sisa saja, bagaikan sisa-sisa air yang menempel di dasar bejana setelah dituangkan isinya oleh pemiliknya. Dan sungguh kalian akan berpindah dari dunia ini menuju suatu negeri yang tiada akhirnya. Maka berpindahlah dengan berbekal amal kebaikan yang kalian kerjakan sekarang. Sungguh telah dikabarkan kepada kami bahwa sebuah batu dilemparkan dari tebing Jahanam, lalu batu itu jatuh ke dalam Jahanam selama tujuh puluh tahun namun belum juga sampai ke dasarnya. Dan demi Alloh, sungguh Jahanam itu akan terisi penuh. Apakah kalian merasa heran? Dan sungguh telah dikabarkan kepada kami bahwa jarak antara dua daun pintu surga itu setara dengan empat puluh tahun perjalanan, dan sungguh akan datang kepada pintu surga itu suatu hari di mana ia penuh sesak oleh orang-orang. Sungguh aku pernah mendapati diriku adalah orang ketujuh dari tujuh serangkai yang menyertai Rosululloh saw. Kami tidak memiliki makanan apa pun selain daun-daun pepohonan, hingga membuat mulut kami terluka. Lalu kutemukan secarik kain, kurobek menjadi dua bagian, satu untukku dan satu lagi untuk Sa’ad bin Malik (alias Sa’ad bin Abi Waqqosh). Setengahnya kupakai sebagai sarung dan setengahnya lagi Sa’ad pakai sebagai sarung. Namun hari ini, masing-masing dari kami telah mejadi pemimpin di beberapa wilayah. Sungguh aku berlindung kepada Alloh agar aku tidak merasa besar (karena jabatan dan kekayaan) padahal di sisi Alloh aku ini sangatlah kecil. Dan tidak ada satu kenabian pun kecuali bergiliran silih berganti antara kalah dan menang, hingga giliran terakhirnya adalah kekuasaan (kerajaan). Maka kalian akan mengetahui dan mengalami kepemimpinan para penguasa setelah kami.”
Utbah kemudian berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Semua urusan menyangkut kota Basrah Utbah serahkan kepada al-Mughiroh bin Syu’bah dari Bani Tsaqif. Selesai ibadah haji Utbah melanjutkan perjalanan menuju Madinah dan menghadap Khalifah Umar. Utbah memohon kepada khalifah agar dibebaskan dari tugasnya sebagai Gubernur Basrah. Utbah tidak ingin kembali ke Basrah dan akan menetap di Madinah. Khalifah menolak keras permohonan Utbah. Khalifah sangat membutuhkan orang-orang zuhud semacam Utbah, orang-orang yang tidak tertarik dengan urusan duniawi, orang-orang yang tidak gampang tergoda oleh gemerlap duniawi, padahal kebanyakan orang mati-matian mengejarnya, bahkan sampai menghalalkan segala cara. “Kalian telah meletakkan tanggung jawab di pundakku,” kata Khalifah Umar seperti dicatat Muhammad Khalid (hlm. 349), “lalu kalian akan meninggalkanku sendirian? Demi Alloh, aku tidak akan melepaskan kalian begitu saja dari tanggung jawab ini.” Mendengar jawaban khalifah, Utbah tak punya pilihan lain kecuali taat dan patuh pada titah khalifah. Setelah berpamitan kepada khalifah, dengan gontai Utbah berjalan menuju kuda kesayangannya. Sebelum naik ke punggung kudanya, Utbah menghadap kiblat terlebih dahulu dan mengangkat kedua tangannya. Utbah melirihkan doa agar Alloh swt tidak mengembalikannya ke Basrah dan agar membebaskannya dari amanat berat sebagai seorang gubernur yang tak sanggup dipikulnya. Utbah kemudian menaiki kudanya dan berangkat menuju Basrah—kota penuh kenangan yang tak ingin dilihatnya lagi.
Doa pejuang Badar itu dikabulkan Alloh swt. Di tengah perjalanan, tepatnya di daerah bernama Ma’dan Bani Sulaim (sekarang daerah ini bernama Mahd adz-Dzahab, Provinsi Madinah), masih di atas kuda, ajal pun menjemputnya. Utbah bin Ghozwan wafat pada tahun 17 H.
Wallohu a’lam.